My Charm

Exorcizamus Tae Omnis Immundus Spiritus Omnis Satanica Protestas Omnis Incursio Infanili Adversarii Omnis Legio Omnis Congregatio Et Secta Diabolica

Minggu, 18 Agustus 2013

Sejarah Ompu Tuan Namarngingi Hutapea

Ompu Tuan Namarngingi adalah leluruh dari marga Hutapea Unok. Secara silsilah, Tuan Ompu Namarngingi adalah cucu dari Siraja Unok. Secara garis besarnya, beginilah silsilah  Raja Unok:


Ompu Tuan Namarngingi mempunyai tiga saudara kandung, yaitu Radja Ompu Runggu, Radja Isorba dan Radja Boltok Martua. Ompu Tuan Namarngingi ketika lahir telah memiliki gigi yang lengkap dan terlahir dengan dibalut oleh tali pusar ibunya. Karena kesaktiannya sejak dilahirkan, maka dia diberi nama Namarngingi (telah mempunyai gigi saat lahir).  Ompu Tuan Namarngingi dikenal sebagai pribadi yang tekun, pintar dan pemberani. Ia memiliki kesaktian, yang memang pada zaman tersebut, kesaktian merupakan satu harta yang sangat penting dan sebagai tingkatan harga diri seseorang. Ketika masih muda, Ompu Tuan Namarngingi ingin belajar menjadi datu (dukun). Dukun merupakan salah satu tingkatan sosial, yang menunjukkan kewibawaan dan pengetahuan akan seseorang di zaman tersebut. Dukun menjadi profesi yang dibutuhkan masyarakat, baik sebagai penyembuh penyakit, mengusir hal-hal jahat, mencari hari baik, dan lain-lain. Karena keadaan dulu yang masih mempercayai hal mistis (sipele begu), maka banyak orang belajar agar dapat menjadi dukun yang sakti.

Karena keinginannya tersebut, maka Ompu Tuan Namarngingi berencana untuk mencari guru, agar mendapatkan kesaktian dan dapat menjadi dukun. Ayah dan saudara-saudaranya pun setuju akan rencana tersebut, terlebih lagi karena menjadi orang pintar/dukun dianggap menjadi orang terpandang, dicari orang dan menjadi panutan bagi masyarakat. Akan tetapi semua saudaranya sudah menikah, sehingga mereka menjadi dilema, dan mengharapkan Ompu Tuan Namarngingi juga segera menikah. Dengan nada bercanda, saudaranya mengatakan "Aek ni simpirsimpir pamurian ni holiholi, sai holan mardalani do ho Ompu Tuan Namarngingi, alai sai matua dolidoli". Saudaranya menganggap Ompu Tuan Namarngingi terlalu banyak berkelana sehingga lupa untuk mencari pendamping hidup. Setelah mencari kabar mengenai guru yang sakti, Ompu Tuan Namarngingi menemukan seorang guru di daerah Pea Langge, yaitu Ompu Tuan Djujur marga Lumbantoruan. Pada akhirnya, Ompu Tuan Namarngingi tidak lama telah menguasai kesaktian yang diajarkan Ompu Djujur, bahkan mereka menjadi sangat akrab, sehingga sudah menjadi saudara walau tidak sekandung. Bahkan karena kesaktiannya, Ompu Tuan Namarngingi menghadiahkan satu giginya yang ditempel diatas pintu rumah Ompu Djujur.

Pada akhirnya, Ompu Tuan Namarngingi telah memiliki kesaktian dan telah menjadi dukun yang terpandang. Akan tetapi ia tetap ingin memperdalam ilmunya, sehingga ia menemui Datu Rara Simatupang. Setelah memperdalam kesaktian terhadap Datu Rara, ternyata Ompu Tuan Namarngingi menyimpan hati terhadap putri Datu Rara, yaitu Tianggur Mangisi Simatupang. Akhirnya, Ompu Tuan Namarngingi menikahi Boru Simatupang tersebut. Datu Rara menghadiahkan seekor harimau kepada Ompu Tuan Namarngingi sebagai hadiah pernikahannya. Datu Rara memberikan harimau tersebut karena kesaktiannya Ompu Tuan Namarngingi yang dapat menjinakkan harimau. Akhirnya Ompu Tuan Namarngingi dan istrinya tinggal di Rura Silindung. Mereka tinggal di desa Huta Pearaja. Dari boru Simatupang tersebut, Ompu Tuan Namarngingi memiliki 4 orang anak, yaitu Ompu Soaloon, Ompu Saniangnaga Tunggal, Ompu Sorta dan Pardodo.

Akhrinya, Ompu Tuan Namarngingi dan keluarga serta pengikutnya pindah ke suatu tempat, dan menamai satu desa, yaitu desa Huta Tindianlaut. Dari puncak pegunungan desa tersebut dapat terlihat laut Barus, sehingga dianggap cocok sebagai tempat tinggal dan bertani di tanah desa tersebut. Setelah beberapa lama tinggal disana, Ompu Tuan Namarngingi menganggap tempat tersebut tidak terlalu cocok untuk ditinggali, sehingga Ompu Tuan Namarngingi dan kumpulannya pindah ke tempat yang tanahnya luas, subur dan tenang. Tempat tersebut berada di kaki bukit Aeknasia dan Aeknapultak. Mereka memiliki daerah persawahan yang disebut Saba Jenek. Daerah tersebut kini disebut sebagai Desa Pansurbatu.

Setelah hidup tentram, Ompu Tuan Namarngingi menginginkan untuk memiliki satu istri lagi. Ia pun memadu istrinya, dengan putri seorang raja, yaitu Ompu Bulusan Situmeang. Akhirnya Ompu Tuan Namarngingi menikahi Boru Tumeang tersebut. Karena memiliki istri yang banyak adalah hal lazim di zaman tersebut, maka tidak ada rasa iri antara Boru Simatupang, istri pertama Ompu Tuan Namarngingi dengan istri keduanya, Boru Tumeang. Dari hasil pernikahan mereka, Boru Tumeang melahirkan seorang putri, yang bernama Boru Telhang di Adji. Mereka semua hidup dengan sejahtera. Akan tetapi kebahagian tersebut tidak dapat berlangsung lama.

Setelah hidup tenang, mertua Ompu Tuan Namarngingi, Ompu Bulusan, mengundang menantunya serta putrinya Boru Tumeang, untuk datang ke desa Sipoholon, rumah dari Ompu Bulusan. Ompu Bulusan mengundang mereka untuk melakukan kegiatan ucapan syukur untuk renovasi rumah Bolon-nya, serta kegiatan mencat rumah bolon tersebut. Sesuai dengan khas rumah Bolon, Gorga (ukiran) di cat dengan warna putih, hitam dan merah untuk memperindah rumah tersebut. Sedangkan Boru Telhang di Adji tetap tinggal di Tapian Na Uli dan tidak ikut dengan oangtuanya. Ompu Tuan Namarngingi dan istrinya pun mendatangi undangan tersebut. Setelah beberapa hari di Sipoholon, Ompu Tuan Namarngingi ingin melakukan perjalanan ke desa Pealangge untuk melakukan suatu urusan, sehingga ia meminta izin terhadap Ompu Bulusan, agar tidak sakit hati akan kepergiaannya disaat renovasi rumah Bolon tersebut. Ompu Bulusan mengizinkan hal tersebut, sehingga Ompu Tuan Namarngingi pergi ke tempat tujuannya.

Cat untuk gorga (ukiran) rumah Bolon tersebut harus terbuat dari darah manusia. Pada zaman dulu, mengecat rumahnya dengan darah akan mendatangkan berkat terhadap penghuni rumah tersebut, rumah akan tampak indah, bersih dan mengkilat. Darah manusia menjadi cat juga melambangkan panjang umur terhadap penghuni rumah. Tukang yang akan mencat rumah Ompu Bulusan menyatakan dengan menggunakan darah, maka rumah akan tampak bagus. Ompu Bulusan akhirnya berpikir, darah siapa yang akan ia jadikan cat rumahnya. Akhirnya ia memutuskan akan membunuh pembantu rumahnya. Seorang pembantu dianggap telah menjadi milik dari majikan, sebab dia telah dibeli oleh majikan tersebut. Ternyata, perbincangan Ompu Bulusan mengenai cat darah tersebut, diketahui oleh pembantu lainnya. Akhirnya pembantu tersebut memberitahu kepada pembantu yang akan dibunuh tentang rencana tersebut.

Disaat tengah malam, anak buah Ompu Bulusan pun datang untuk membunuh pembantu tersebut. Dengan kondisi rumah yang hanya mempunyai obor, rumah dan kamar tampak sangat samar. Ternyata pembantu tesebut tidur bersama Boru Tumeang, putri Ompu Bulusan. Pembantunya pindah kesebelah Boru Tumeang karena rencananya, dia akan dibunuh saat tidur. Kesalahpahaman ini akhirnya berujung maut. Putri Ompu Bulusan, Boru Tumeang menjadi korbannya. Sebelum dibunuh, Boru Tumeang berkata, "Ahu di Amang, borum do ahu!". Anak buah Ompu Bulusan menjawab, "Ah, Namargabus do ho!". Padahal yang menjadi korban salah sasaran adalah Boru Tumeang. Keesokan harinya, setelah hari terang, Ompu Bulusan menemukan putrinya telah meninggal dibunuh, dan pembantunya masih hidup. Ompu Bulusan pun sangat teramat terpukul. Dia menjadi bingung dan sedih atas kejadian tersebut. Berita tentang hal ini akhirnya tersebar ke segala penjuru. Akhirnya, guru dan sahabat Ompu Tuan Namarngingi, Ompu Djujur mendapat berita tersebut dan segera memberitahu kepada Ompu Tuan Namarngingi. Mendengar hal tersebut, Ompu Tuan Namarngingi menjadi sangat sedih dan marah. Dia tidak habis pikir mengapa mertuanya setega itu membunuh putrinya sendiri. Mendengar kejadian tersebut, Ompu Tuan Namarngingi langsung menemui Ompu Bulusan di Sipoholon.

Sesampainya di Sipoholon, Ompu Tuan Namarngingi langsung menemui Ompu Bulusan. Ompu Bulusan menyambutnya dengan sambutan hangat. Ompu Bulusan menunjukkan hasil cat rumahnya kepada Ompu Tuan Namarngingi sambil membawa ke dalam rumah. "Didia borumuna?", tanya Ompu Tuan Namarngingi kepada Ompu Bulusan. "Nalaho do borungku tu gadong, manangna laho muse ibana manimbanimba, alai na ro ma i satongkin nari.", jawab Ompu Bulusan. "Alai adong barita hubege taringot tu borumuna, ba, beha do sintong ni?", balas Ompu Tuan Namarngingi. "Ah, godang barita hela ndang sai sude barita i na sintong, ai adong do parbarita so sungkunan, adong do i sigoit dugul ni totna. Alai taida ma annon sintong ni barita na nidokmuna i. Molo soborungku tongkin nari laho ma hita tu balian mamereng ibana.". Ompu Bulusan meyakinkan Ompu Tuan Namarngingi bahwa istrinya masih hidup dan sedang ke ladang, Ompu Bulusan menjelaskan bahwa kabar berita tersebut hanyalah isapan jempol  belaka. Akhirnya Ompu Tuan Namarngingi merasa tenang dan yakin terhadap mertuanya. Ompu Bulusan juga menyiapkan makan malam bersama mantunya Ompu Tuan Namarngingi. Akan tetapi, Ompu Bulusan telah mencampurkan makanan Ompu Tuan Namarngingi dengan racun Tali Siolang. Setelah memakan sajian tersebut, racunnya bereaksi.Pada akhirnya, Ompu Tuan Namarngingi pun meninggal dunia.

Berita meninggalnya Ompu Tuan Namarngingi sampai kepada guru dan sahabatnya Ompu Djujur. Ia pun menangis sedih dan memberitahu kepada anak istrinya di Pansurbatu. Boru Simatupang istri pertama Ompu Tuan Namarngingi beserta putra putrinya sangat terpukul. Yang sangat terpukul adalah Boru Telhang di Adji. Seluruh masyarakat Pansurbatu pun sangat terpukul dan mereka tidak sanggup membalasa perbuatan Ompu Bulusan, karena kekuatan dan jumlah mereka yang banyak. Setelah beberapa tahun, akhinya Boru Simatupang pun meninggal karena sudah tua. Boru Telhang di Adji pun tinggal bersama Ompu Soaloon, anak dari Ompu Tuan Namarngingi dan Boru Simatupang. Boru Telhang di Adji mendapat perlakuan yang tidak nyaman dari saudaranya. Ia dikucilkan dan diperlakukan tidak baik. Akhirnya, Boru Telhang di Adji pergi menemui tulang-nya (paman) di Sipoholon. Dia mengadukan segala keluh kesahnya, akhinya pamannya tersebut menjadikan ia putrinya, dan mengganti marganya menjadi boru Situmeang.

Setelah hal tersebut, Boru Telhang di Adji yang menjadi boru Situmeang menikah dengan marga Simanjuntak. Pamannya lah yang menjodohkan mereka. Akan tetapi, Boru Telhang di Adji tetap mengingat bahwa dia adalah boru Hutapea dan merupakan putri Ompu Tuan Namarngingi. Setelah memiliki keturunan, pada akhirnya Boru Telhang di Adji mengakui bahwa dia adalah boru Hutapea, bukan boru Situmeang. Anak-anaknya pun terkejut dan pada akhirnya dapat menerima kejadian tersebut.

Itulah yang menjadi kisah nyata leluhur dari Hutapea yang tinggal di Pansurbatu, Tarutung. Ompu Tuan Namarngingi adalah pendiri desa Huta Pansurbatu. Kesaktiannya menjadi tersohor, dan sampai sekarang banyak mitos yang menyebutkan di tombak (hutan) di Pansurbatu banyak harimau yang merupakan jelmaan Ompu Tuan Namarngingi. Makam Ompu Tuan Namarngingi terdapat di desa Pansurbatu. Hingga saat ini terdapat larangan akan pernikahan antara marga Hutapea keturunan Ompu Tuan Namarngingi dan Situmeang keturunan Ompu Bulusan. Hal ini terjadi karena ketidakrelaan marga Hutapea atas terbunuhnya Ompu Tuan Namarngingi.

Akan tetapi penentangan akan pernikahan Hutapea Namarngingi dan Situmeang Bulusan telah pernah terjadi, yaitu orangtua saya sendiri. Ayah saya, J.Hutapea merupakan keturunan Ompu Tuan Namarngingi, dan ibu saya, D. br Situmeang adalah keturunan Situmeang Bulusan. Pernikahan mereka awalnya ditentang, khususnya dari marga Hutapea Pansurbatu yang masih menganggap pernikahan tersebut salah dan tidak boleh terjadi. Mereka berasumsi, pernikahan mereka akan berakhir dengan kesusahan. Setelah melakukan musyawarah, akhirnya orangtua saya menikah, dimana ibu saya tidak mendapatkan tuhor (tidak dibeli), dan mereka pun menikah. Hingga saat ini, orangtua saya memiliki 5 orang anak, 4 laki-laki dan 1 perempuan, semuanya lahir dengan normal dan hidup sejahtera, dan saya anak nomor 2, ^-^.

Demikian cerita atas kisah nyata leluhur kami zaman dahulu. Cerita tersebut saya terjemahkan dari tulisan Guru Djisman Hutapea. Dialah penulis cerita Sejarah Ompu Tuan Namarngingi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar